Tuesday, December 30, 2008

Pembangkit Listrik Alternatif, Prospeknya Siiip!

Bermodal uang tabungan dan SPP, Bagus Setiawan menyediakan pembangkit listrik alternatif. Omzetnya bisa mencapai Rp1,4 miliar per bulan. Wow!
Saat ini, energi listrik telah menjadi kebutuhan yang sulit terpisahkan dari segala aktifitas sehari-hari. Demikian pula dengan kegiatan industri dari skala kecil sampai besar, pemerintahan, kesehatan, teknologi, pendidikan dan lain sebagainya, dari tahun ke tahun terjadi peningkatan permintaan listrik. Padahal PLN sebagai pemasok listrik dalam negeri boleh dibilang kemampuannya nyaris tidak bertambah, dan itu pun terbatas jumlahnya.

Adalah Bagus Setiawan, lulusan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya yang melihat kondisi seperti itu sebagai satu peluang. Berbekal ilmu yang dipelajarinya dia mendirikan CV. Aneka Surya, salah satu perusahaan penyedia solusi sumber energi alternatif. Persisnya, bisnis itu telah berjalan sejak 20 Mei 2004, tetapi secara resmi baru pada awal 2008. Sejarahnya berawal sejak masih kuliah, ia berupaya merakit beberapa paket pembangkit listrik lalu mencoba mempromosikan produk tersebut melalui internet. Sebagai modal usaha, seperti diceritakan, yakni berasal dari uang SPP ditambah uang tabungan yang tidak seberapa.

”Selang beberapa hari saya sudah dapat pembeli walaupun cuma satu paket. Orderan tersebut saya manfaatkan betul-betul sebagai kepercayaan, dan berhasil sampai sekarang. Omzet sampai hari ini bisa mencapai Rp1,4 miliar/bulan hanya selang waktu 2 tahun sejak saya pertama kali mempromosikan produk, dari tidak punya apa-apa,” tuturnya.

”Kami membuat desain dan merakit produk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk membantu keperluan para pelanggan terhadap kebutuhan lampu penerangan dan beberapa alat elektronik dengan daya skala kecil. Produk rakitan kami, khususnya paket PLTS, sangat diperlukan terutama bagi para pelanggan yang bertempat tinggal di daerah terpencil atau pedalaman dan tidak tersentuh listrik PLN. Harga produk yang kami jual sangat terjangkau namun berkualitas,” papar kelahiran Gresik itu sedikit berpromosi.

PLTS adalah pembangkit yang memanfaatkan sinar matahari sebagai sumber penghasil listrik. Alat bernama fotovoltaik yang secara umum disebut modul/ panel surya dipakai untuk menangkap sinar matahari dan mengubah menjadi listrik melalui proses aliran-aliran elektron negatif dan positif didalamnya. Hasil dari aliran elektron-elektron akan menjadi listrik DC yang dapat langsung dimanfatkan untuk mengisi battery/ aki sesuai tegangan dan daya yang diperlukan. Rata-rata produk panel surya di pasaran menghasilkan tegangan 12-18 VDC dan ampere 0,5-7 A, dengan kapasitas beragam mulai 10 Watt Peak-200 Watt Peak. Komponen inti dari sistem PLTS ini meliputi peralatan modul, regulator/ controller, battery/ aki, inverter DC to AC, serta beban/ load.

CV. Aneka Surya, seperti dijelaskan, telah mengembangkan beberapa macam tipe produk PLTS, baik yang digunakan untuk rumah tangga dengan skala kecil, menengah, hingga untuk proyek berskala besar. Contoh paket produk untuk rumah tangga skala kecil berupa paket penerangan rumah tinggal yang terdiri 3 sampai dengan 4 unit lampu LED atau TL 10 Watt, system output 12 Volt DC, dilengkapi dengan panel surya ukuran 40 dan 50 Watt Peak, serta regulator dan battery 70Ah. Paket ini dijual dengan nama paket PLR-4LED dan PLR AS50/50DC. ”Paket tersebut banyak digunakan para pelanggan kami yang memiliki daya beli yang lemah karena paket ini hanya kami jual mulai Rp3,2 juta -Rp3,850 juta. Sementara harga pasaran produk lain rata-rata di atas Rp4 juta,” tukas Bagus.

Sedangkan paket skala menengah untuk penerangan rumah terdiri 3 sampai dengan 4 unit lampu PLS (energy saver) plus mampu menghidupkan beberapa perangkat elektronik lain, seperti radio dan TV. System output-nya 220 Volt AC. Paket yang dikasih nama PLR AS50/50AC, PLR AS80/100AC dan PLR AS100/100AC itu dilengkapi dengan modul solar cell ukuran 40 dan 50 watt peak sebanyak 1-2 unit, regulator dan battery 70-120Ah. Harganya mulai Rp4 juta-Rp8 juta. ”Secara keseluruhan, harga paket yang kami jual mulai Rp3,2 juta sampai dengan Rp20 juta. Tetapi selain itu masih ada beberapa paket lain dengan spesifikasi dari pelanggan dengan harga bisa lebih besar lagi,” imbuhnya.

Lebih lanjut, mengenai sistem produksi, Bagus mengungkapkan, beberapa produk paket yang sering dicari para pelanggan dilakukan secara kontinyu memakai model stok barang. Di antaranya yaitu paket PLR AS50/50 DC dan PLR AS50/50AC. Dengan jumlah pegawai cukup 10 orang, ia mengaku justru dapat menekan biaya pengeluaran perusahaan. ”Saya memiliki strategi, dari 10 orang tadi, terdapat beberapa tenaga ahli dengan latar belakang yang berbeda-beda, mulai tenaga ahli bidang listrik, elektro, manufaktur, bangunan, akunting, serta tenaga pemasaran,” akunya.

Dijelaskan pula, strategi penjualan produk Aneka Surya selama ini terutama ditempuh melalui strategi pemasaran lewat website. Sebab, ia beralasan, dengan mengandalkan internet ia bisa menjangkau para pelanggan yang sebagian besar berada di luar Jawa. Di samping itu, Bagus menempuh cara lain dengan membuat jaringan cabang di daerah-daerah di luar Jawa. Caranya dengan menggandeng pelanggan-pelanggan di daerah sebagai reseller. Satu lagi, seperti diungkapkan, sebagai strategi terakhir ia melakukan promosi ketika perusahaannya mendapat proyek pengerjaan pembangkit alternatif di suatu daerah, atau dengan kata lain sekalian nebeng. Tujuannya agar produk-produk perusahannya tersebut cepat dapat diketahui oleh pelanggan hingga ke pelosok daerah.

Sejauh ini Bagus memang lebih banyak memasarkan produk ke luar Jawa, khususnya di wilayah timur Indonesia. Beberapa proyek yang ditangani antara lain terletak di Kalimantan, Flores (NTB), Papua, bahkan hingga ke Timor Leste, seperti proyek paket penerangan rumah, penerangan jalan, puskesmas, pompa air, lemari es, dan sebagainya. Adapun konsumen di kota-kota besar di Jawa, seperti Surabaya, Bandung, dan Jakarta, umumnya sekadar memanfaatkan sebagai pembangkit energi cadangan, di samping tetap memakai listrik PLN. Di dalam perkembangannya, perusahaannya juga tidak hanya fokus pada bidang PLTS, melainkan juga Pembangkit Listrik Tenaga Angin dan Air, sebagai pembangkit alternatif energi listrik yang memanfaatkan sumber tenaga alami tanpa menggunakan bahan bakar minyak bumi, batu bara dan gas bumi.

”Prospek usaha pembangkit tenaga alternatif sangat bagus, karena cepat atau lambat bahan bakar minyak bumi pasti akan semakin sulit dicari,” ucapnya. Meskipun begitu, diakui, kendala pemasaran yang dihadapi, harga perangkat yang tergolong masih tinggi berakibat tidak semua konsumen mampu membeli. ”Solusi kami dengan memberikan paket-paket siap pakai dengan spesifikasi sesederhana mungkin sehingga terjangkau oleh daya beli masyarakat,” terangnya.

Solusi Pembangkit Listrik Alternatif CV Aneka Surya:
- Paket produk lengkap, mulai dari skala kecil, menengah, besar. Juga melayani pembuatan desain
PLTS dengan spesifikasi khusus.
- Beberapa paket produk yang sering dicari pelanggan diproduksi secara kontinyu.
- Jumlah karyawan dibuat ramping tetapi efektif untuk efisiensi biaya.
- Strategi pemasaran terutama melalui internet, dengan alasan pelanggan kebanyakan dari luar
Jawa.
- Mengembangkan paket-paket dengan spesifikasi sederhana agar harga lebih terjangkau.

Sunday, December 28, 2008

Bikin Santan Bantal, Biar Kocek Lebih Tebal

Kompetisi di pasar santan murni kemasan sebenarnya masih longgar. Namun, PT Cocomas Indonesia , meluncurkan santan bantal Bumas untuk memperluas pasar. Santan,emulsi minyak di dalam air hasil perasan dari daging kelapa, nyaris dikenal oleh semua golongan masyarakat. Santan telah sekian lama dijadikan bahan baku maupun bahan pendukung untuk berbagai masakan, mulai dari makanan ringan sampai makanan pokok. Santan digunakan sebagai bahan utama mulai dari kue sampai nasi uduk. Berbagai menu bulan Ramadhan dan lebaran, seperti kolak dan opor jelas membutuhkan santan dalam jumlah yang besar.

Maka sudah hal yang lumrah kalau pada bulan Ramadhan dan lebaran konsumsi santan kelapa mengalami kenaikan hingga 40 persen. Padahal momen puasa dan lebaran akan terjadi berulang setiap tahunnya. Artinya, dari tahun ke tahun kebutuhan santan kelapa juga akan merangkak. Hal inilah yang tak luput dari tangkapan PT Cocomas Indonesia (CI), prinsipal dari produsen PT Bumi Sarimas Indonesia.
“Dalam kondisi peak season seperti saat ini (Ramadhan dan lebaran-red) kebutuhan santan kelapa bisa naik sampai 40 persen lebih,” kata Managing Director PT CI, Isman Budiman, beberapa waktu lalu. Ternyata, Isman sudah mengambil ancang-ancang beberapa bulan sebelum Ramadhan datang. Juni 2006 lalu, misalnya, PT CI sudah meluncurkan santan murni dalam kemasan bantal (Tetra Fino Aseptic) 200 ml. Baik isi maupun kualitas dari santan murni kemasan bantal yang diberi nama Bumas sama persis dengan santan murni Cocomas kemasan kotak 200 ml (Tetra Brik Aseptic).
“Namun harganya lebih ekonomis. Ini mengingat perkembangan ekonomi yang belum terlalu menggembirakan sehingga juga mengubah perilaku konsumen. Kalau dulu pay less for less dan pay more for more dianggap wajar. Tetapi sekarang konsumen inginnya pay less for more,” ujar kelahiran Medan, 38 tahun lalu itu.
Melihat kecenderungan konsumen tersebut, lanjut alumnus Jurusan Ilmu Jurnalistik IISIP ini, PT CI memberikan respon dengan meluncurkan santan murni kemasan bantal 200 ml yang harganya lebih ekonomis, meski kuantitas dan kualitasnya sama dengan Cocomas kemasan kotak 200 ml. “Karena harganya lebih ekonomis maka produk ini membidik segmen kelas menengah ke bawah,” sebut bapak dari tiga anak ini.

Saat ini santan murni dalam kemasan bantal Bumas merupakan satu-satunya yang berada di pasaran. “Sepengetahuan saya santan murni dalam kemasan bantal hanya kita yang punya,” ujar Budi yang mengaku tingkat kompetisi di bisnis ini sebenarnya masih sangat longgar. Sampai kini pasar santan instan dikuasai dua pemain besar, salah satunya PT CI.
Tetapi mengapa PT CI perlu meluncurkan kemasan bantal? Karena adanya perubahan perilaku konsumen. Selain itu, ujar Budiman, selama ini kebanyakan konsuman santan instan adalah hotel, restoran dan katering. Kalau konsumen per orangan biasanya orang-orang kelas menengah ke atas yang lebih paham tentang masalah higinitas, kepraktisan dan kenecisan. Belum ada yang tertarik untuk menggarap kelas menegah ke bawah.
Padahal, ujar Isman, konsumsi santan di Indonesia secara keseluruhan sangat besar. Kalau diasumsikan per kapita per tahun membutuhkan 1,2 kg santan maka dengan penduduk 220 juta jiwa Indonesia membutuhkan santan 264.000 ton per tahun. Sedangkan kemampuan produksi Cocomas dan Bumas, yang nota bene salah satu dari dua pemain besar di Indonesia, baru 10.00 ton per tahun. Itu pun 90 persennya produknya untuk memenuhi kebutuhan ekspor. “Peluang pasarnya masih besar,” tutur Isman mantap.
Oleh karena itu ia optimistis pada tahun-tahun mendatang PT CI bisa meningkatkan pangsa pasar, efisiensi maupun produktifitasnya. Di pasar dalam negeri PT CI memegang 20 persen dari pangsa pasar, dan tahun depan berharap bisa meraup 30 persen pangsa pasar seiring dengan rencana perusahaan untuk meningkatkan kapasitas produksi dari 300 ton kelapa per hari pada saat ini menjadi 500 ton kelapa per hari pada tahun depan. “Dengan adanya penambahan kapasitas produksi kami berharap tahun depan, pasar ekspor dan dalam negeri bisa berimbang,” ucap Budi seraya mengimbuhkan santan murni Cocomas maupun Bumas memiliki perbedaan di rasanya. “Bahan bakunya berasal dari kelapa yang hidup daerah Padang Pariaman dan sekitarnya, sehingga taste-nya akan terasa berbeda.”

Melihat tingkat konsumsi santan nasional yang sangat besar itu, target Budi bukanlah target yang muluk. Namun untuk mencapai ke sana Isman perlu beberapa strategi, salah satunya (santan kemasan bantal), lagi. Menurutnya, saat ini yang diperlukan untuk memperluas pasar santan instan adalah edukasi ke masyarakt luas. Selama ini masyarakat mengira bahwa santan instan bisa bertahan lama (sampai 1,5 tahun) karena ditambahkan bahan pengawet di dalamnya. Sejatinya, produk santan instan ini tidak mengandung bahan pengawet. Kemampuan bertahan dalam periode waktu yang lama dikarenakan kemampuannya memanfaatkan teknologi ultra high temperature, sering disingkat UHT.
“Dengan pemanasan sampai 140 derajat Celcius, bakteri yang menyebabkan rusaknya santan, akan mati. Selain itu, santan murni ini sudah dalam kondisi matang sehingga bisa langsung dimanfaatkan tanpa harus memasaknya lagi. Misalnya untuk penggunaan dalam cendol,” papar Isman.
Selain itu, imbuh Isman, santan instan jauh lebih sehat dibandingkan santan perasan tradisional. Dalam pembuatan santan tradisional risiko terkontaminasi dengan bakteri tentu lebih besar, jika dibandingkan dengan proses modern.

Ditambahkan Isman, bahwa santan instan tidak bisa digunakan untuk membuat gudeg karena kurang kental adalah mitos belaka. Pada tahun 2003, sebanyak 300 pak santan (setara dengan 3000 butir kelapa) murni Cocomas digunakan sebagai bahan baku pembuatan gudeg 1 ton dalam Gudeg Perdamaian Merah Putih 2003. Ternyata hasilnya gudeg itu bisa dinikmati oleh Sri Sultan Hamengkubuwono bersama 10 ribu masyarakat Yogyakarta. Bahkan MURI menganugerahi piagam kepada PT CI atas partisipasinya mengolah gudeg terbanyak di Indonesia (dan dunia) itu.
Dengan berbagai langkah strategi dan edukasi, menggenjot pangsa pasar sampai 30 persen pada tahun depan jelas bukan target yang muluk bagi Isman. Apalagi, kalau masyarakat bermigrasi dari penggunaan santan perasan tradisional ke santan murni kemasan, sebagaimana ketika mereka berbondong-bondong ketika akan menyantap gudeg 1 ton, tentu langkah PT CI akan semakin lenggang kangkung.

Saturday, December 27, 2008

Jangan Tergoda Janji Manis Franchisor

Banyak franchisor yang memberikan iming-iming calon franchisee mencapai break event point (BEP) dalam tempo singkat. Informasi ini perlu diuji sebelum memutuskan bergabung.

Tidak dimungkiri bahwa membangun bisnis melalui waralaba jauh lebih aman dibandingkan dengan membangun bisnis sendiri. Sebab, franchisee tidak perlu menjalani proses repot bin ribet mengingat sistemnya sudah terbentuk. Bahkan, dijamin 90% produk yang dijual akan laku dan ketika menghadapi kendala tinggal mengadu kepada franchisor. Franchise, bagi franchisor, juga merupakan win-win solution. Karena, franchisor tidak perlu menanamkan modal lagi untuk mengembangkan bisnisnya, serta dapat membangunnya lebih cepat dan dengan risiko lebih kecil.

Adalah Bakmi Raos. Bisnis yang dibangun oleh Bimada pada 2003 di kawasan Bintaro, Tangerang, ini dimulai dari sebuah gerobak dan hanya menyajikan mie ayam. Medio 2006, ia menawarkan kemitraan. “Gara-gara BBM (Bahan Bakar Minyak) naik, harga beli bahan baku menjadi mahal. Saya pun berpikir mengapa tidak dimitrakan saja. Ternyata, tanggapannya luar biasa,” kata Bimada. Kemitraan tersebut bersifat beli putus. Karena, ia tidak mau menanggung apakah nantinya mitra akan meraup untung atau justru mengalami kerugian.

Kemitraan seharga Rp15 juta ini, dalam perjalanannya mengalami kesulitan menaikkan harga. Sebab, sekali gerobak tetaplah gerobak, tidak ada eye catching-nya. Di samping itu, mitra tidak mau lagi mengeluarkan biaya untuk berpromosi atau sekadar papan nama dan tidak pernah menjaga nama baik Baik Raos. Misalnya, dengan mengoplos minyak bawang atau membeli mie di pasar di mana seharusnya kedua bahan baku itu dibeli dari franchisor. Selain itu, biasanya mitra tidak mengelola langsung bisnisnya.

Pada 2007, ketika kesulitan semakin bertambah, terpikir oleh Bimada untuk masuk ke bisnis restoran. Lalu, pada November, Bakmi Raos pun masuk ke kancah mini resto. “Pertimbangannya, mini resto masih merupakan pasar yang belum dijamah oleh konsep kemitraan,” ujar pria yang berasal dari Surabaya, Jawa Timur, ini. Selanjutnya, 193 gerobak yang kini tinggal 50–70 gerobak, diganti namanya menjadi Bakmi Resto, dengan kompensasi free 1.000 porsi mie plus papan nama Bakmi Resto. Sekadar informasi, kendati telah berubah nama menjadi Bakmi Resto, tetapi hubungan bisnis tetap terjalin. Sebab, pembelian bahan baku harus tetap melalui Bakmi Raos.

Mini resto ini terbagi menjadi beberapa tipe mitra fee yaitu mitra fee Rp20 juta, hanya menjual mie ayam. Sedangkan untuk mitra fee Rp25 juta, menu ditambahi bakwan Malang dan mpek-mpek. Untuk kedua tipe ini, outlet cukup seluas satu ruko (rumah toko). Untuk mitra fee Rp45 juta ditambahkan menu Chinese Food dan seafood. Untuk mitra fee Rp75 juta, menu ditambahi steak. Untuk kedua tipe ini, karena sudah harus berbentuk resto atau kafe di mana terdapat dapur dan koki, maka luas outlet minimal sama dengan dua ruko. Untuk mitra fee Rp150 juta sudah berbentuk resto sepenuhnya sebab sudah disediakan manajer, SOP (Standard Operating Procedure), dapur, desain, dan fasilitas-fasiltas lain. Untuk itu, luas outlet minimal 300 m². “Kami sudah punya 3–4 mitra untuk tipe ini,” katanya.

Untuk itu, pemilik resto Cippes ini melanjutkan, mitra tipe Rp20 juta dan Rp25 juta harus membukukan omset kotor minimal Rp15 juta/bulan. Untuk tipe Rp45 juta, mitra harus mengumpulkan omset kotor minimal Rp1,5 juta/hari. Sedangkan untuk tipe Rp75 juta, harus meraup omset kotor minimal Rp2,5 juta/hari dan untuk tipe Rp150 juta sebesar Rp100 juta/bulan. Masing-masing dengan royalty fee 5%.

“Angka-angka ini kami tetapkan karena kami yakin mitra pasti meraih keuntungan. Misalnya, dengan omset Rp15 juta saja, mitra telah meraup laba bersih Rp5 juta. Tapi, bila yang bersangkutan tidak mampu meraup omset tersebut, dengan sendirinya tidak ada royalty fee. Di samping itu, 2,5% dari royalty yang kami terima, kami tabung untuk keperluan mitra. Misalnya, jika pemasukan mitra mengalami drop, maka royalty tersebut kami kembalikan dalam bentuk promosi dan supply bahan baku. Sedangkan 2,5% lagi kami ambil sebagai hak kami,” ucapnya.

Kemitraan yang berlaku selama lima tahun ini juga boleh dipindahtangankan. “Tapi, bila dalam jangka waktu enam bulan, kami melihat bahwa bisnis mitra tidak berjalan seperti seharusnya, maka kami akan take over sendiri dengan bagi hasil 70 untuk mitra dan 30 untuk kami,” jelasnya. Di sisi lain, franchisor tidak akan memberi jaminan kapan akan mengalami BEP (Break Even Point) atau ROI (Return of Investment) kecuali mitra memintanya. “Itu pun kami berikan dalam bentuk asumsi. Saya justru lebih fokus membantu dalam promosi dan ketersediaan bahan baku yang dijamin 100%, dengan harga Rp17 ribu/10 porsi,” imbuhnya.

Memasuki tahun 2008, tercetus ide di benak Bimada untuk masuk ke bisnis yang lebih detil lagi yaitu menawarkan franchise, sekitar tiga hingga empat bulan ke depan. Tapi, ia akan mengelola sendiri franchise-franchise-nya, seolah-olah itu bisnisnya sendiri. Sedangkan franchisee cukup duduk manis di ruang kasir. “Karena, saya sudah mulai bermain di pasar yang mahal (rencananya, franchise fee yang ditawarkan mencapai Rp250 juta–Rp300 juta dengan royalty fee 2,5%–3%, red.). Jadi, kalau selanjutnya saya biarkan saja, tentu franchisee komplain,” katanya.

Untuk mempersiapkan rencananya tersebut, ia memulai dengan mengembangkan nama Bakmi Raos (branding), membangun berbagai training center, menempatkan manajer di mitra-mitranya, dan sebagainya. “Meski masih berwujud wacana, konsep ini sudah ditolak lho. Untuk mengatasi hal ini, nanti kalau saya sudah action, yang akan saya bicarakan adalah branding. Sebab, jika berbicara tentang branding, masyarakat tidak memiliki pilihan lain kecuali mau bergabung,” ujarnya, yakin. Sekadar informasi, cara cepat menjual produk yaitu dengan branding, sedangkan cara cepat untuk membangun branding yaitu dengan franchise. Setelah difranchisekan, suatu produk akan memiliki bargaining power yang tinggi. Bagaimana menurut Anda?

Franchise yang Baik ala Bimada

- Dipegang langsung oleh master franchise atau franchisor-nya.
- Ada SOP-nya.
- Ada perangkat survainya.
- Ada management training-nya.
- Tidak mengiming-imingi BEP dan ROI.
- Franchisor bertanggung jawab atas kelangsungan bisnis yang dikelola franchisee.

Friday, December 26, 2008

Kiat-Kiat Memilih Franchise Terbaik dan Menghindari “Jebakan”

Berbisnis secara franchise diyakini bisa meminimalkan risiko dan memperbesar peluang untuk sukses. Bagaimana kiat memilih franchise yang bagus?

Secara denotatif membangun bisnis dengan skema franchise merupakan jalan pintas meraih sukses, jika dibandingkan dengan membangun usaha sendiri dari awal. Ini sudah menjadi keyakinan banyak orang. Bukti-bukti statistik pun berbicara demikian. Namun, ini bukan berarti garansi 100% bahwa usaha yang dibangun dengan pola franchise pasti sukses. Banyak bukti, terutama di Indonesia, usaha yang dikembangkan dengan pola franchise akhirnya gulung tikar.

Mari kita runut tentang perusahaan franchise. Ketika seseorang yang telah menjalankan suatu bisnis berkeinginan untuk memasarkan produk atau jasanya ke masyarakat yang lebih luas, maka ia telah berpikir untuk menjadikan perusahaannya sebagai perusahaan franchise.

Satu atau dua cabang biasanya dibuka dulu untuk mengetes kemampuan pasar serta untuk mengembangkan kualitas dari produk atau jasa sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang lebih luas dari pasar semula. Dalam istilah, Budi Utoyo, pemilik one stoping (klinik kesehatan, spa dan salon) Leha-Leha, proses ini disebut sebagai membangun model.  “Dengan model yang sama belum tentu satu tempat akan sesukses tempat yang lain,” ujar Budi.

Pembentukan model bisa dilakukan dengan membuka cabang sendiri maupun dengan skema business opportunity (BO). Ketika cabang-cabang didirikan untuk melakukan pengetesan terhadap model ini sukses, maka model tersebut harus dibakukan. “Dan perusahaan siap untuk diwaralabakan,” kata  Lori Kiser-Block, Vice President dari FranChoice, sebuah perusahaan jaringan nasional konsultan franchisedi Amerika Serikat.

Sayangnya di Indonesia tidak semua perusahaan franchise mengikuti proses demikian. Banyak jenis usaha yang diwaralabakan, hanya didasarkan kepada kesuksesan satu outlet (gerai). Tanpa pencarian model terlebih dahulu, langsung ditawarkan kepada franchisee. Sebagian memang ada yang sukses, tapi banyak sekali yang rontok. Secara akal sehat hal ini memang gampang dinalar: yakni model ini belum teruji. Maka seharusnya bisnis ini diuji dulu dengan mendirikan beberapa cabang-cabang atau dikerjasamakan dengan sistem BO sebelum diwaralabakan.

Masa-masa pembentukan model ini diakui Lori Kiser sebagai masa yang sulit bagi calon franchisor. Perusahaan harus belajar apakah konsep-konsep yang sudah dirancangnya bisa berjalan atau tidak untuk cabang-cabang yang berbeda lokasi. Marketing untuk skala yang lebih luas tentulah jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan marketing untuk satu outlet saja. Dalam masa ini ratusan detil harus dimodifikasi, diubah, diperbaiki dan ditetapkan. Jika tahapan ini dijalankan oleh perusahaan franchiseprobabilitas untuk sukses  ketika diwaralabakan sangat besar.

Karena kenyataan di lapangan tidak seperti ini maka calon franchisee haruslah membekali dirinya dengan mengacu kepada beberapa kriteria sebelum memilih perusahaan franchise. Beberapa kriteria bisa diformulasikan ke dalam beberapa pertanyaan:

Jenis usaha apa yang Anda memiliki hobi terlibat di dalamnya?  

Di sebuah survei menyebutkan bahwa salah motivasi orang berusaha adalah karena hobinya. Hobi membuat seseorang terlibat secara intens terhadap bisnis yang digelutinya. Seorang penyayang binatang probabilitas suksesnya akan lebih besar jika ia mengambil jenis bisnis yang terkait dengan binatang. Misalnya mengambil franchise pet shop atau mengambil franchise salon binatang. Demikian juga orang yang hobi icip-icip makanan besar kemungkinan akan sukses jika mengambil franchisemakanan. Budi Utoyo, sebagai franchisor Leha-Leha, juga menjadikan hal ini salah satu kriteria dalam memilih franchisee. “Saya memilih orang yang memiliki passion besar dalam bidang perawatan kecantikan. Jadi bukan semata-mata orang yang memiliki uang,” ujarnya.

Apakah produk atau jasa yang akan Anda jual cukup unik?

Boleh jadi Anda memiliki hobi di bidang bisnis yang ditawarkan franchisor. Tetapi Anda juga harus mempertimbangkan apakah bisnis ini cukup unik. Bisnis yang gampang ditiru, atau bisnis yang tidak memiliki keunikan, besar kemungkinan akan memasuki arena kompetisi yang sengit. Dalam kompetisi yang sengit, risiko yang harus dipikul seorang franchisee sangat besar. Risiko kegagalan pun sangat tinggi. Maka pilihlah perusahaan franchise yang memiliki produk atau jasa yang unik.

Berapa uang yang tersedia yang siap Anda investasikan ?
Dana yang tersedia yang akan Anda investasikan untuk membeli franchise adalah faktor yang sangat penting. Jika uang yang Anda miliki Rp30 juta sedangkan suatu franchise tertentu membutuhkan dana Rp90 juta maka peluang ini bukan peluang yang tepat bagi Anda. Tidak peduli betapa pun Anda sangat berkeinginan untuk mendapatkan franchise ini. Urungkan niat Anda untuk membeli franchise tersebut.

Berapa total dana yang harus Anda keluarkan?
Berhitung secara cermat terhadap dana yang harus Anda keluarkan ketika bergabung dengan sebuah perusahaan franchise merupakan satu keniscayaan. Anda harus ingat franchise fee bukan satu-satunya pengeluaran Anda. Perhitungkan berapa dana yang mesti Anda keluarkan lagi untuk advertising, training dan pembelian peralatan pendukung, serta biaya operasional dalam jangka waktu tertentu. Ingat tak ada jaminan bahwa bisnis Anda akan langsung dikerumuni konsumen, seterkenal apa punbranding dari produk atau jasa yang Anda jual. Sebagian franchisor memang sudah memasukkan biaya-biaya di atas ke dalam investasi awal, tetapi franchisor yang lain tidak demikian. “Calonfranchisee yang modalnya pas-pasan lebih baik tidak mengambil franchise karena tidak mungkin seorang franchisor akan memberikan dana talangan,” nasehat Budi.

Seberapa mapan franchise tersebut? 
Ini juga faktor penting yang harus Anda pertimbangkan. Terhadap kemapanan sebuah perusahaanfranchise. Anda bisa mengajukan beberapa pertanyaan lanjutan misalnya, sudah seberapa lama perusahaan franchise tersebut berdiri? Apakah franchise itu sudah lama berdiri ataukah bisnis yang baru? Berapa franchisee yang sudah bergabung dan di lokasi mana saja franchise yang telah bergabung tersebut?

Bagi seorang calon franchisee yang berkarakter risk taker  mungkin mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terlalu relevan. Bagi seorang risk taker, seberapa lama usaha tersebut telah berdiri tampaknya tidak terlalu penting. Yang lebih penting adalah peluangnya, tidak peduli perusahaanfranchise baru atau sudah lama. Sedikitnya franchisee bagi seorang risk taker justru suatu peluang besar bagi kemajuan usahanya.

Berbeda halnya dengan calon franchisee yang cenderung menghindari risiko. Secara umum, franchiseememiliki karakter ini. Itu sebabnya mereka lebih nyaman menjadi franchisee, karena dilihat dari sisi risikonya bergabung dengan perusahaan franchise jauh lebih kecil jika dibandingkan mendirikan usaha sendiri. Jika Anda bertipe seperti ini sebaiknya Anda mencari perusahaan franchise yang memiliki cabang minimal 25 gerai dan sebagian besar di antaranya membukukan kesuksesan.

Ini bisa dilakukan dengan menanyakan kepada beberapa franchisee yang telah bergabung dengan mengajukan pertanyaan inti, misalnya, "Apakah Anda sudah mencapai target finansial yang telah Anda tetapkan sebagai  franchisee?"

Anda juga harus menanyakan tentang pendapatan yang sebenarnya dari franchisee tersebut, bukan mengenai hasil yang dijanjikan oleh franchisor. Banyak franchisor yang mengobral janji dengan mengatakan bisnis yang ditawarkan akan mencapai break event point (BEP) dalam tempo singkat. Bagi calon franchisee yang tidak terlalu kritis janji muluk tersebut bisa sangat menggoda untuk ikut segera bergabung.

Nasehat Budi,” Jangan percaya kepada janji franchisor. Tanyakanlah kepada para franchisee yang sudah bergabung. Itu hal pertama yang harus dilakukan seorang calon franchisee.”

Bagaimanakah track record dari franchisor tersebut?
Bisa jadi seorang franchisor memiliki bisnis bagus, meski track record terutama attitude-nya tidak. Namun secara umum, bisnis yang bagus akan dilandasi track record yang bagus juga. Apalagi untuk bisnis jangka panjang. Track record  yang bagus ini sebenarnya harus bersifat balans antara franchisordan franchisee.

Merek yang hebat, produk dan jasa yang hebat yang telah diberikan seorang franchisor akan tidak ada artinya jika franchiseenya memiliki attitude yang tidak baik. Bos Bakmi Raos Bimada mengaku pernah mengalaminya. Demi keuntungan sesaat para mitranya mengoplos minyak bawang dan membeli mie di pasar, padahal seharusnya mereka mengambil dua bahan baku ini dari franchisor.  Mudah ditebak cita rasa bakmi yang mereka jual mengalami penurunan. Padahal nilai jual Bakmi Raos adalah di cita rasanya.

Sebaliknya, banyak franchisee yang dengan tekun berusaha memajukan bisnis yang ditawarkan, namun sang franchisor menelantarkan bisnis tersebut. Penandatanganan kontrak antara kedua belah pihak akan menjadi penandatanganan kerjasama yang pertama sekaligus yang terakhir, karena bisnis ini akan mati dengan sendirinya. Kasus seperti ini sudah banyak terjadi.

Bagi calon franchisee pilihlah franchisor yang mempunyai dasar pemikiran: kemajuan bisnis franchisortergantung sepenuhnya dari kemajuan bisnis franchiseeFranchisor yang demikian akan memberikan kemampuan terbaiknya kepada para franchiseenya.

Jenis dukungan dan training apa yang diberikan franchisor?

Belum tentu seorang calon franchisee memiliki pengalaman mengelola usaha sebelumnya. Maka dukungan yang diberikan oleh franchise pusat mutlak diperlukan. Sebelum melakukan penandatanganan kontrak, calon franchisee harus menanyakan secara detil tentang dukungan yang diberikan oleh franchisor. Menurut Budi Utoyo, franchisor minimal memiliki Standard Operating Procedure (SOP) seperti flow chart finansial, flow chart kerja , Juknis (petunjuk teknis) untuk hal-hal yang lebih teknis lagi. Sayangnya tidak semua perusahaan franchise di Indonesia memiliki SOP dan Juknis ini. Maka seorang calon franchisee harus memberi perhatian besar pada persoalan ini. Demikian juga dalam hal training. Jenis training apa saja yang diberikan, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk training, siapa yang menanggung biaya training harus ditanyakan secara detil sehingga tidak terjadi perselisihan, setelah kontrak diteken.

Apakah Anda diharuskan untuk membeli peralatan dan produk dari franchisor?

Jika ya maka Anda harus membandingkan harga dari peralatan dan produk sejenis di pasar ritel setempat. Jika harga yang diberikan oleh franchisor lebih tinggi, bisa dipastikan Anda akan mengalami kesulitan untuk menjual produk tersebut di lokasi usaha Anda. Budi mengakui bahwa franchisormempunyai peluang untuk melakukan hal ini, lantaran pasokan produk atau jasa dari franchisor kefranchisee mirip monopoli legal. Tetapi banyak franchisor yang tidak mau berlaku sewenang-wenang termasuk Leha-Leha. Dalam salah satu klausul kontrak dengan Leha-Leha disebutkan,” untuk jenis produk yang juga ada di pasaran, dijamin produk dari Leha-Leha tidak akan lebih mahal,” tegas Budi. 

Berapa radius yang diizinkan oleh franchisor kepada franchisee lain?

Setiap franchisor, biasanya mempunyai kebijakan sendiri mengenai berada radius yang diperbolehkan bagi franchisee lain membuka usaha. Ada yang membagi berdasarkan ruas jalan, ada yang membagi dengan ukuran jarak, tetapi ada juga yang membagi berdasarkan komplek atau blok. Pengaturan radius ini biasanya terkait dengan populasi konsumen dan jenis usaha. Sekalipun setiap franchisor biasanya sudah mempunyai aturan mengenai radius, namun seorang calon franchisee harus bertanya secara detil masalah ini. Sebab bisa jadi seorang franchisor mengabaikan persoalan ini, hanya semata-mata ingin mendapatkan franchise fee sebanyak-banyaknya. Jika ini terjadi, ada kemungkinanfranchisee yang satu “saling memakan” dengan franchisee yang lain. 

 Bagaimana term kontrak tentang kepemilikan usaha?

Untuk hal ini masing-masing franchisor juga memiliki kebijakan sendiri. Ada yang mengizinkan usaha milik franchisee dipindahtangankan. Bahkan ada franchisor yang berani mengambil alih (take over) usaha milik franchisee yang tidak berjalan sesuai harapan. Dari sisi risiko, usaha yang bisa dipindahtangankan dan diambil alih oleh franchisor , akan jauh lebih kecil. Setidak-tidaknya sebagian dari investasi yang telah dibenamkan bisa diambil lagi.

Bagaimana term kontrak kerjasama operasionalnya?

Sebagian franchisor lebih senang mendapatkan franchisee yang bertipe investor. Franchisor yang menjalankan seluruh operasional usaha, sedangkan franchisee tinggal mendapatkan bagian hasilnya. Namun sebagian franchisor justru antipati dengan franchisee yang bertipe investor. Semua memiliki alasan tersendiri untuk menetapkan kebijakan itu. Namun yang pasti franchisee bisa menilai karakter dirinya sendiri dan tinggal memilih perusahaan franchise yang sesuai dengan karakternya.

Kriteria apa yang digunakan franchisor untuk menyeleksi franchisee?

Kriteria apa yang digunakan oleh franchisor untuk menyeleksi franchisee secara timbal balik bisa digunakan oleh franchisee untuk menilai siapa sebenarnya franchisor tersebut. Ada franchisor yang mensyaratkan adanya persamaan visi dan misi antara kedua belah pihak. Meski kelihatan sepele dan abstrak namun persoalan ini tidak bisa disepelekan. Sudah banyak bukti tentang franchise yang kandas di tengah jalan dan berantakan gara-gara perbedaan visi dan misi antara franchisor dan franchiseepadahal secara bisnis usaha tersebut prospektif. Yang perlu diwaspadai lagi adalah franchisor yang tidak memiliki kriteria terhadap calon franchisee. Biasanya tipe franchisor ini hanya menghendakifranchise fee dari franchiseenya.

Jika Anda telah mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada franchisor dan memberikan penilaian yang tepat atas jawaban-jawaban dari franchisor maka besar kemungkinan Anda bisa mendapatkan franchise yang terbaik menurut Anda dan sekaligus terhindar dari “jebakan-jebakan” yang dipasang oleh franchisor yang tidak bertanggung jawab. 

Franchise, Jalan Tol Sukses Berbisnis

Mengutip data statistik, Lori Kiser-Block, Vice President FranChoice, usaha yang dibangun dengan pola franchise jauh lebih berpeluang sukses jika dibandingkan membangun usaha sendiri. Itu sebabnya, franchise mengalami pertumbuhan pesat, tak terkecuali di Indonesia. Bahkan untuk Indonesia, tingkatnya sudah mendekati eforia.

Sayangnya banyak franchisor maupun franchisee di Indonesia yang tidak paham mengenai franchise, sehingga tak ayal lagi banyak bisnis franchise yang berguguran, seperti daun di musim kemarau.

Setiap bisnis sukses lantas diwaralabakan tanpa mengetahui esensi dari waralaba. Diperparah lagi dengan calon franchisee yang “tergoda” untuk membeli waralaba yang ditawarkan. Maka munculnya franchise baru dengan rontoknya franchise lama seperti sebuah perlombaan lari sprint. Dalam kondisi sebuah franchise tutup maka banyak sekali yang dirugikan. Reputasi franchisor akan rontok, franchisee kehilangan uang yang telah dibenamkan, tenaga kerja kehilangan sandaran hidupnya. Meski tidak sehebat di Amerika Serikat tutupnya perusahaan franchise juga akan mengurangi kontribusi sektor ekonomi riil. 

Di Amerika Serikat perusahaan franchise menyumbang 50% dari penjualan ritel secara keseluruhan. Franchise di Amerika Serikat per tahun menyumbang penghasilan sekitar AS$ 1 triliun.

Di Indonesia sendiri, peluang untuk mengembangkan perusahaan franchise luar biasa besar. Populasi di Indonesia merupakan salah satu dari yang terbesar di dunia. Ini merupakan pasar yang menggiurkan. 

Namun tak satu pun orang atau franchisor yang bisa menggaransi bahwa franchise yang bergabung pasti sukses. “Bohong kalau ada seorang franchisor yang bisa menggaransi bahwa franchiseenya pasti sukses. Itu sebabnya jurus pertama bagi calon franchisee dalam memilih franchise adalah jangan percaya kepada franchisor,” nasihat Budi Utoyo, franchisor Leha-Leha yang juga Ketua Bidang Usaha Asosiasi Pengusaha Waralaba Indonesia (APWINDO).

Banyak faktor yang mempengaruhi sukses tidaknya sebuah usaha waralaba, mulai dari jenis usaha,brandattitude franchisee maupun franchisornya sampai dukungan dari sang franchisor. Mengenali factor-faktor penentu sukses tidaknya usaha franchise inilah yang kami bagikan kepada Anda.

 

Thursday, December 25, 2008

Tangkap Laba Asap Cair

Pukul 08.00 udara di bangunan permanen dengan dinding depan terbuka itu terasa segar. Empat jam berselang aroma asam menyengat mulai tercium. Bau tajam itu kian menguat pada pukul 16.00. Berbarengan dengan itu Imam Nurhidayat 'memanen' 85 liter asap cair kelas 2.

Asap cair didapat dari pembakaran 300 kg tempurung kelapa melalui proses pirolisis dan destilasi. Proses pertama mengubah tempurung menjadi asap dengan pembakaran bersuhu 400-500oC. Asap lalu didestilasi-maksudnya diembunkan, destilasi berarti mengembunkan uap hasil pembakaran, red-menjadi asap cair.

Proses berlangsung selama 8 jam. Dua pekerja memulainya dengan memasukkan tempurung kelapa ke dalam tungku pembakaran. Tiga-empat jam kemudian tetes pertama asap cair keluar dari 2 pipa di ujung luar alat destilasi. Proses hingga 8 jam menghasilkan asap cair kelas 2. Liquid smoke itu sudah ditunggu pembeli dengan harga Rp20.000 per liter. Artinya omzet Imam Rp1,7-juta.

Imam mestinya bisa mengantongi rupiah lebih banyak jika sanggup melayani kebutuhan nelayan di pelelangan ikan. Asap cair dibutuhkan sebagai pengganti formalin dalam proses pengawetan ikan. 'Rata-rata pelabuhan-pelabuhan ikan-misal di Muaraangke, Jakarta-butuh 5 ton per hari,' ujar pria yang melakukan survei pasar sendiri itu. Maka peluang mendulang laba dari asap cair masih membentang. width=550

Wednesday, December 24, 2008

Bisnis Asap Cair

Satu setengah tahun tempurung kelapa itu teronggok tak terjamah. Imam Nurhidayat membiarkan limbah pengolahan VCO itu membukit. Namun, isu makanan berpengawet formalin pada 2006 membangkitkan naluri bisnisnya. Ia membakar tempurung, mengalirkan asap melalui pipa besi nirkarat, dan mengolahnya di tabung kondensasi menjadi asap cair. Kini ia memasarkan 2.300 liter dan beromzet Rp46-juta sebulan.

Dua tahun lalu, penggunaan formalin untuk mengawetkan makanan merebak. Padahal, Badan Pengawasan Obat dan Makanan melarang penggunaan formalin untuk mengawetkan makanan. Sebab, formalin berdampak buruk bagi kesehatan seperti memicu depresi susunan saraf, memperlambat peredaran darah, dan kencing darah. Jebolan Universitas Islam Indonesia itu menawarkan asap cair yang terbukti aman sebagai pengganti formalin.

Imam Nurhidayat menjual asap cair Rp20.000 per liter. Asap cair hasil pembakaran tempurung kelapa. Seliter asap cair berasal dari 3 kg tempurung. Dari volume produksi 2.300 liter, 2.000 liter di antaranya terserap pasar Bandung, Semarang, dan Surabaya. Selebihnya habis terserap para pedagang mi, bakso, tahu, dan ayam potong di Yogyakarta.

Produsen mi tinggal mengencerkan asap cair murni 20 kali alias menambahkan 19 liter air bersih ke dalamnya. Jadi dari seliter asap cair murni menjadi 20 liter asap cair encer. Untuk pengawetan mi, produsen hanya menambahkan 2% asap cair encer pada adonan mi. Dengan menambahkan asap cair, mi atau bakso bertahan 2 hari pada suhu kamar. Lebih singkat memang ketimbang pengawetan dengan formalin. Namun, penggunaan asap cair sangat aman.

Serapan besar

Asap cair komoditas baru yang mulai sohor setahun terakhir. Produk hasil pembakaran tempurung kelapa dan kayu keras seperti bakau dan rasamala itu populer lantaran multifungsi. Produk yang mengandung senyawa asam, fenolat, dan karbonil itu antara lain bermanfaat sebagai pengawet makanan, pembeku karet, pupuk, desinfektan, antivirus, dan obat. Karena multimanfaat pantas jika pasar terbuka lebar. Imam Nurhidayat, misalnya, baru sanggup memasok 2.300 liter dari total permintaan rutin 10 ton sebulan. Karena terbilang baru, pemain asap cair masih sedikit. Para pemain itu baru menggeluti bisnis asap cair selama 1-2 tahun.

Selain asap cair, 'limbah' kelapa lain yang dicari pasar adalah cocofiber alias serat sabut dan arang aktif. Yang disebut pertama bahan baku tempat tidur pegas, jok kursi, atau papan partikel. Mari lihat Roeswan Roesli yang 10 tahun terakhir mengekspor serat sabut ke Belgia dan Korea Selatan masing-masing 1 kontainer setara 22 ton. Alumnus Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung itu bekerja sama dengan produsen skala rumahan di Banten dan Ciamis.

Roeswan memberikan mesin pengolah sabut kepada mereka. Lalu, seluruh produksi berupa serat sabut ia tampung untuk memenuhi pasar ekspor. Di pasar internasional, harga cocofiber alias serat sabut US$200-US$205 per ton setara Rp2-juta pada kurs Rp10.000. Pendapatannya Rp44-juta. Omzet pria kelahiran 8 September 1933 itu bakal menggelembung pada bulan mendatang. Ketika Trubus mewawancarai pada 17 November 2008, ia tengah bersiap terbang ke Shanghai, China, untuk meneken kontrak dengan Shengyang Xudong.

Shengyang, produsen kasur pegas dan mebel, meminta pasokan 700 ton serat sabut untuk masa kontrak 12 bulan. Artinya, ia mesti menyiapkan rata-rata 58 ton tiap bulan selama setahun. 'Setelah itu kontrak masih mungkin diperpanjang,' kata ayah 5 anak itu. Ia lebih berkonsentrasi untuk memenuhi permintaan Shengyang Xudong ketimbang importir lain. Di luar permintaan Korea dan Belgia, 'Sebetulnya saya masih dapat menjual 5-10 kontainer per bulan,' ujar Roeswan, pemilik PT Roesmetrix.

Pasar karbon dan arang aktif tak kalah besar. Ari Hardono, contohnya, memasarkan 20 ton arang aktif per bulan. Satu kg arang aktif hasil pembakaran 9-10 tempurung kelapa. Konsumennya rumah makan di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Mereka menggunakan arang aktif sebagai bahan bakar. Dengan harga Rp1.200 per kg omzetnya Rp24- juta. Menurut produsen di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, itu biaya produksi sekilo arang aktif Rp600 sehingga laba bersihnya Rp12-juta tiap bulan.

Langka?

Peluang bisnis asap cair, serat sabut, dan arang-semua 'limbah' kelapa-terbukti bagus. Para pemain bisnis komoditas itu bergelimang laba. Namun, untuk memperoleh laba itu tak semudah memejamkan mata saat kantuk. Bagi produsen asap cair, memasarkan komoditas itu relatif sulit pada mulanya. Itu karena acap cair komoditas baru di sini. Kendala klise adalah bahan baku terbatas. Susilo Wirawan mengoperasikan sebuah mesin terpadu berkapasitas 30.000 sabut per hari. Namun, karena terbatasnya bahan baku pemilik CV Wukir Jaya Makmur itu cuma sanggup mengolah 10.000 sabut.

Hasilnya cuma 1 ton cocofiber. Artinya total produksi 7 ton sepekan. Padahal, setiap pekan ia harus mengirimkan 18 ton serat sabut ke Korea Selatan. Itulah sebabnya ia memburu serat sabut ke Kabupaten Purworejo, Kebumen, dan Surabaya. Eksportir di Kulonprogo, Yogyakarta, itu kewalahan memenuhi permintaan riil yang mencapai 1.000 ton per bulan. Keluhan langkanya bahan baku jamak terdengar dari produsen serat dan serbuk sabut.

Benarkah bahan baku langka? Menurut Amrizal Idroes dari Asian Pasific Coconut Communitybahan baku sabut dan tempurung sebetulnya memadai. Di beberapa sentra kelapa seperti Sulawesi Utara dan Riau, kedua bahan itu belum diolah. Direktorat Perkebunan mencatat pada 2007 luas lahan kelapa di Provinsi Riau 627.978 ha dengan produksi 456.475 ton; Sulawesi Utara, 268.737 ha (223.262 ton).

Total jenderal luas lahan kelapa Indonesia 3,8- juta ha dengan produksi 3,03-juta ton pada 2007. Selama ini sebagian besar pekebun hanya mengolah daging buah menjadi minyak. Sedangkan sabut dan tempurung sekadar sebagai bahan bakar. 'Jumlah yang diolah masih sangat kecil dibanding limbah yang dihasilkan,' kata Dr Ir Hengky Novarianto, periset dari Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain.

Jika kontinuitas bahan baku terjaga, bukan berarti urusan lancar. Di fase produksi, pisau mesin pembuat cocofiber sepanjang 30 cm kerap patah meski terbuat dari baja setebal 2 cm. 'Kalau sudah patah, produksi berhenti 4-5 jam,' ujar Jahari B Iskak, produsen di Wanasalam, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Setiap hari rata-rata 2 pisau patah di mesin berkapasitas 2 ton terdiri atas 12 pasang pisau. Untuk mengatasinya, Jahari mengelas. Ia melengkapi pabriknya dengan mesin las.

Denda & menghilang

Standar mutu juga menjadi batu sandungan bagi produsen. Usai mengikuti pameran tanaman hias Floriade di Aalsmeer, Belanda, pada 2002, Zulhaidir Rawawi girang bukan kepalang. Ia memperoleh pasar baru karena importir di negeri Kincir Angin itu bersedia menyerap berapa pun pasokan cocopeat alias serbuk sabut dari Zulhaidir. Cocopeat adalah cocodust atau butiran sabut yang sudah mendapat perlakuan tertentu sehingga sesuai untuk media tanam.

Importir antara lain menginginkan standar mutu serbuk sabut ber-pH 5,5, maksimal kadar air 10%, kadar garam 1%, dan EC 1. Untuk memenuhi syarat itu Zulhaidir bekerja sama dengan beberapa periset. 'Ada sabut yang direndam dalam tawas, ada pula cocodust yang disteam, tapi hasilnya nihil,' kata Zul. Hingga kini pasar Belanda yang gemuk dan harga 2 kali lipat lebih mahal ketimbang Korea itu belum terpasok.

Soal pembayaran atas barang ekspor juga menjadi hambatan. Pada 30 September 2008, 2 hari sebelum libur Lebaran, importir di Mapo-gu, Gongdeok, Korea Selatan, berjanji mentransfer biaya serbuk sabut senilai US$22.883 setara Rp220-juta ke rekening Zul. Namun, hingga 21 November 2008 transfer itu belum ia terima. Ia berkali-kali menelepon perusahaan itu, tapi tak ada jawaban. Zulhaidir memasok serbuk ke perusahaan itu sejak Mei 2008.

Roeswan Roesli, eksportir di Jakarta, beberapa tahun silam bagai menelan pil getir gara-gara bobot serbuk sabut yang ia kirim ke Taiwan tak sesuai dengan dokumen ekspor. Saat itu ia mempercayakan pasokan dan penimbangan balok serbuk sabut kepada perusahaan plasma. Setelah serbuk sabut tiba di Taiwan, ternyata terdapat selisih minus 8 ton sehingga importir mendenda Roeswan US$2.000 setara Rp18-juta.

Calon produsen juga mesti berhati-hati atas penawaran kerja sama seperti pada 1999. Saat itu 2 perusahaan menawarkan mesin berkapasitas 200 kg per hari seharga Rp80-juta tunai. Perusahaan itu menjamin pemasaran berapa pun produksi serat dan serbuk sabut produsen plasma. Janji itu terpenuhi memang, tetapi cuma 6 bulan. Setelah itu perusahaan inti menghilang.

Akibatnya produksi terhenti. Ada produsen mitra yang mesti merintis pasar; sebelumnya tak pernah dipikirkannya. 'Yang tertipu bukan hanya 1-2 orang, tapi ratusan orang,' ujar Zulhaidir. Itulah sebabnya calon plasma sebaiknya mengecek kredibilitas perusahaan ke lembaga perkelapaan seperti MAPI (Masyarakat Perkelapaan Indonesia) atau Dewan Kelapa Indonesia.

Laba mengalir

Berbisnis 'limbah' kelapa seperti asap cair, serat sabut, dan arang aktif terbukti penuh kendala. Dari hulu hingga hilir, dari produksi hingga pemasaran. Namun, ketika berbagai hambatan itu teratasi para produsen seperti Puji Wiyono menangguk laba besar. Produsen di Lampung itu memproduksi 1.200 liter asap cair per bulan. Berbagai alat seperti tungku pembakaran dan kondensasi menyita lahan seluas lapangan voli.

Setiap hari pria 42 tahun itu membakar 109 kg tempurung kelapa. Hasilnya 40 liter asap cair yang ia jual Rp12.500 per liter. Itu lebih rendah ketimbang harga asap cair pada umumnya yang rata-rata Rp20.000-an. Maklum, Puji memperoleh bahan baku gratis dari produsen kopra. Ia menikmati bahan baku gratis hingga 3 bulan ke depan. Puji yang sehari-hari bekerja di Politeknik Lampung itu menangguk laba bersih Rp6,6-juta per bulan.

Puji memasarkan asap cair kepada para pekebun karet di Lampung. Mereka memanfaatkan asap cair sebagai penggumpal lateks. Setidaknya 2 faedah besar mereka peroleh. Pertama, aroma busuk karet hilang. Biasanya para pekebun membekukan lateks dengan asam semut atau asam format. Penambahan asam semut justru memicu pertumbuhan bakteri sehingga muncul amonia dan sulfida yang berbau busuk.

Karena bersifat anticendawan, antibakteri, dan antioksidan maka pembekuan dengan asap cair menghilangkan bau busuk itu. Dengan asap cair, tak ada lagi protes dari masyarakat di sekitar pabrik pengolahan karet. Penggunaan asap cair juga ekonomis. Untuk menggumpalkan 200 liter getah karet, pekebun cuma perlu 1 liter asap cair. Faedah lain, kualitas meningkat lantaran karet lebih putih.

Imam Nurhidayat pernah mensurvei kebutuhan asap cair di pelelangan ikan di berbagai kota di Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Pelabuhan Muaraangke, Jakarta Utara, misalnya, memerlukan 5 ton asap cair; Tuban, Jawa Timur, 5,7 ton per hari. 'Rata-rata sebuah pelabuhan ikan memerlukan 5 ton asap cair per hari. Ini pasar potensial untuk menjual asap cair,' kata Imam Nurhidayat.

Sebagai produsen asap cair, Puji Wiyono juga memperoleh 2 produk sampingan berupa: tar dan arang aktif. Puji tak perlu lagi mengeluarkan biaya produksi untuk memperoleh keduanya. Tar terkumpul dan keluar melalui kran sebelum asap memasuki tangki kondensasi karena bobot jenis lebih tinggi ketimbang asap. Setiap bulan pria kelahiran 6 Juni 1966 itu menuai 300 liter tar yang habis diborong para produsen kusen.

Tar bermanfaat mengawetkan kayu lantaran bersifat antirayap. Dengan harga jual Rp6.000 per liter, tambahan labanya mencapai Rp1,8-juta per bulan. Satu produk tambahan lagi adalah arang aktif yang mencapai 750 kg per bulan. Harga jual arang itu Rp3.000 per kg sehingga mempergemuk rekeningnya hingga Rp2,25-juta saban bulan.

Bisnis empuk

Pasar cocofiber alias serat sabut kelapa tak kalah empuk. Seperti halnya asap cair, serat sabut juga multiguna antara lain sebagai pengisi jok mobil, jok kursi, kasur pegas, papan partikel, dan filter air. 'Dibanding busa, cocofiber lebih kuat melindungi per dan tidak mengundang kutu,' kata Ir Omar Sidik, produsen di Depok, Jawa Barat, membandingkan cocofiber dan busa sebagai bahan baku kasur pegas.

Berdasarkan lacakan Trubus, pelaku bisnis serat sabut di berbagai kota kewalahan memenuhi tingginya permintaan. Asli Malin, salah satu contoh. Produsen serat sabut di Pariaman, Sumatera Barat, itu memproduksi 1,2 ton serat hasil olahan 18.000 sabut per hari. Jangankan memenuhi permintaan importir di Korea Selatan mencapai 10.000 ton per tahun, order eksportir di Jakarta saja belum ia layani sepenuhnya. Setiap pekan, eksportir di Jakarta memborong serat Rp1.800 per kg.

Pria kelahiran 17 April 1946 itu, memetik laba bersih Rp300 per kg. Kecil? Tunggu dulu. Dengan produksi 8,4 ton per pekan, laba bersihnya Rp2,5- juta atau Rp10-juta per bulan. Itu baru dari cocofiber. Produsen serat sabut berarti juga produsen cocopeat alias serbuk. Sebab, 70% dari kulit kelapa terdiri atas serbuk; 30% serat. Asli Malin menuai 90 ton cocopeat yang memberikan laba bersih Rp27-juta sebulan.

Artinya total jenderal laba bersih Malin dari pengolahan sabut mencapai Rp37-juta sebulan. Siapa tak tergiur laba menjulang? Mungkin karena itulah Zulhaidir Rawawi berhenti bekerja di perusahaan asing di Jakarta meski bergaji besar, fasilitas memadai, dan jabatan tinggi. Ia memilih menekuni bisnis cocopeat. Semua bermula dari tugas Zulhaidir sebagai general manager yang kerap memaparkan laporan keuangan kepada pemegang saham di Seoul, Korea Selatan.

Saat bertugas ke sana, ia menyempatkan diri mengunjungi sentra tanaman hias di Inchon, mirip Rawabelong, Jakarta Barat. Di sanalah ia melihat cocopeat bikinan Sri Lanka. Ia menawarkan diri untuk memasok dan diluluskan. Pada 1999 Zul memutuskan berhenti bekerja setelah rutin mengekspor cocopeat selama setahun. Kini ia rutin mengirimkan 22 ton cocopeat per bulan memenuhi permintaan seorang importir di Inchon, Korea Selatan.

Balok cocopeat yang ia ekspor berukuran 80 cm x 80 cm x 80 cm berbobot 5 kg. Satu kg cocopeat berasal dari 2,5 kg sabut kelapa. Menurut dia biaya produksi 1 kg cocofibre dan 2 kg cocopeat-dari 5 kg sabut-Rp1.600. Itu total biaya karena cocopeat dan cocofibre dihasilkan dari satu kesatuan bahan. Bila memproduksi cocopeat, pasti menghasilkan cocofiber atau sebaliknya. Harga jual cocopeat di pasar ekspor mencapai Rp2.600 per kg sehingga omzetnya Rp57,2-juta.

Zulhaidir memperoleh 17 ton cocofiber per bulan. Serat sabut itu ludes terserap produsen kasur pegas di pasar domestik. Dengan harga jual Rp2.200 per kg, ia menangguk omzet Rp37,4-juta saban bulan. Laba bersih penjualan cocopeat dan cocofiber mencapai Rp22-juta sebulan. Zul sebetulnya masih mampu memasarkan hingga 3 kontainer cocopeat lagi. Sayang, produksinya masih terbatas. Ia bisa memasarkan produk cocopeat milik produsen lain asal sesuai standar mutu. Apalagi sejak Desember 2008 ia juga mesti memenuhi order Garden Landscape. Importir di Singapura itu meminta pasokan rutin papan tempat tumbuh anggrek berbahan baku cocopeat.

Garden Landscape meminta kiriman 10.000 papan berukuran 50 cm x 20 cm x 2 cm per bulan. Soal peluang bisnis cocopeat menurut Zul pasar terbuka luas. 'Saya kewalahan melayani permintaan cocofiber,' ujar Zul yang menginvestasikan Rp200-juta ketika memulai bisnis. Sebagai gambaran, sebuah produsen springbed memerlukan 20 ton cocofiber per bulan. Belum lagi produsen springbed asing yang mengajak bekerja sama. Setidaknya ada 4 produsen asal China dan 2 asal Vietnam yang minta pasokan rutin cocofiber kepada Zul.

Gosong oke

Selain asap cair, cocofiber, dan cocopeat, olahan 'limbah' kelapa lain adalah arang aktif. Idealnya pengolahan arang aktif terpadu dengan asap cair. Namun, beberapa produsen hanya mengolah arang aktif. Boleh jadi lantaran teknologi produksi asap cair terbilang baru di Indonesia. Djaya Suryana sejak 2002 memasok arang aktif ke sebuah perusahaan di Tanjungbintang, Provinsi Lampung.

Ia membersihkan arang hasil pembakaran tempurung kelapa di mesin diesel 30 PK. Melalui ban berjalan arang lolos sortir masuk ke mesin penghancur. Ketika keluar arang melewati saringan baja sehingga hasilnya seragam. Djaya memasarkan 3.000 ton arang aktif per bulan. Masih ada 5.000 ton permintaan rutin per bulan yang belum dapat Djaya penuhi. Sayang, ia merahasiakan harga jual ke produsen karbon aktif. 'Minimal ambil untung Rp50 per kg,' kata Djaya.

Lima puluh rupiah tak bisa dibilang kecil karena secara akumulasi laba bersihnya Rp150-juta. Memang dibanding laba Doddy Suparno dan Oka Bagus Panuntun, keuntungan Djaya lebih kecil. Doddy mengutip laba Rp1.500 per kg arang aktif. Harga jual saat ini Rp4.500 per kg. Menurut Doddy biaya produksi per kg briket Rp3.000. Dari pembakaran 15 ton tempurung ia memperoleh 5 ton arang aktif per bulan.

Mereka lalu menghancurkan arang dan mengolahnya menjadi briket. Margin perniagaan barang gosong itu Rp7,5-juta sebulan. Mestinya laba Doddy lebih besar jika saja setiap bulan mampu memenuhi permintaan rutin dari Yunani dan Timur Tengah masing-masing 22 ton dan 88 ton. Di luar olahan 'limbah kelapa' itu sebetulnya masih ada produk turunan lagi seperti tepung tempurung seperti digeluti oleh Agus Setiawan.

Pria kelahiran 11 Agustus 1971 itu menggiling tempurung kelapa menjadi tepung. Rendemen 90%-10 kg tempurung menjadi 9 kg tepung. Volume produksi 'baru' 50 ton sebulan terserap sebuah pabrik obat nyamuk. Tepung batok bahan baku obat nyamuk bakar. Dengan harga jual Rp2.500 dan biaya produksi Rp1.000, laba bersihnya Rp75- juta. Menurut Agus pasar tepung terbentang luas. Ia belum sanggup melayani order rutin 1.350 ton tepung per bulan.

Pasar olahan 'limbah' kelapa terbukti luas. Kepala Bidang Pemasaran Dewan Kelapa Indonesia, Djaja Putra Rachmat, membuktikannya. Selama sebulan sejak 23 Agustus 2008 ia berkeliling Belanda dan Jerman menemui para importir olahan 'limbah' kelapa. 'Asal kontinuitas dan kualitas terjaga, pasar sangat besar,' kata Djaja.

Ia bersedia menjembatani produsen cocopeat atau cocofiber untuk memasarkan produk ke mancanegara. Menurut Djaja pesaing Indonesia adalah Sri Lanka yang lebih dulu serius menekuni bisnis itu. Sabut dan tempurung kelapa yang selama ini dipandang sebelah mata ternyata komoditas prospektif yang menjanjikan laba besar.