Monday, September 14, 2009

Nazil dan Menyulam Pita Indah di Jilbab

KOMPAS.com - Melihat sulaman pita di tas cangklong pemberian seorang teman, Nazil penasaran. Maka, mulailah dia mengambil pita dan benang, meniru sulaman itu. Beberapa kali mencoba, akhirnya sulamannya jadi, dan malah merasa hasil sulamannya lebih halus.

Rasa percaya diri mulai menghinggapinya. Tak hanya pada tas, Nazil lantas menyulam pita di jilbab, mukena, dan baju wanita. Ternyata bisa juga. Barangkali, bekal bisa menjahit membuat belajar sulam-menyulam pita otodidaknya cepat berhasil.

"Saya lalu coba-coba menawarkan jasa ke teman-teman, dan tetangga. Awalnya jasa sulaman pita hanya untuk jilbab dan mukena, sebab itu yang saban hari dipakai. Dengan sulaman pita, jilbab jadi terlihat lebih indah dan anggun," ujar Nazil, Senin (24/8), ketika ditemui di rumahnya, di Plosokuning IV Minomartani, Sleman.

Pesanan pun berdatangan. Bahkan beberapa butik meminta jasa sulamannya. Sarjana pendidikan lulusan Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta ini lalu merekrut dua karyawan. Saking sibuknya, pekerjaan lama dia, yakni sebagai instruktur kursus menyulam, mesti ditinggalkan.

Lambat laun, wanita bernama lengkap Nazitul Mubarokah ini merasa perlu memberi nama usahanya. Dipilihlah Syifa Collection , dan resmi dipakai setahun lalu. Nama Syifa diambil dari nama sang anak, yakni Syifa, yang masih balita, sumber inspirasinya.

"Sekarang, langganan tetap saya yakni tiga butik. Untuk pelanggan perorangan, ada beberapa. Mereka, sebagian juga menjual lagi sulaman saya, ke butik atau orang lain. Saya jadi lebih pede, karena jika butik pun merespons hasil sulaman pita saya, berarti kualitas sulaman saya masuk kriteria mereka," ujarnya.

Untuk skala industri rumah tangga, produksinya terbilang lumayan. Sepekan, dari tiga butik tersebut, ia mendapat order sulaman pada 75-150 jilbab. Sedangkan untuk pelanggan perorangan, dalam sepekan bisa datang 10 pesanan jasa sulaman pita. Saat ini, ia baru mengkhususkan pada motif gambar bunga.

Sementara, untuk jasa sulaman pita pada baju, mukena, dan tas cangklong, ordernya belum banyak. Namun sepekan sekali, pasti ada. Ia menetapkan harga bervariasi, Rp 10.000-Rp 40.000 per sulaman, tergantung jenis dan kualitas pita yang dipakai. Untuk motif bunga sederhana, satu sulaman jilbab bisa selesai dalam satu jam.

"Awalnya saya menggambar motif bunga, baru menyulam pada kain jilbab. Ini handmade banget, sehingga pada dua jilbab, walau sketsanya sama, dan sepintas hasilnya nampak sama, namun sulaman antarjilbab sebenarnya tidak bisa sama persis. Pasti beda, tapi itulah uniknya. Menyulam itu gampang-gampang susah, tapi menyenangkan," papar perempuan kelahiran Brebes, 9 Agustus 1979 ini.

Mengapa hasil sulamannya bisa halus? ujung sulaman (dibawah permukaan kain), dikuncinya dengan cara dibakar pakai nyala korek api. Tapi mesti hati-hati...

Mencicipi Peluang Bisnis Puding Kedelai

KOMPAS.com - Banyak orang menyukai kedelai. Selain rasanya yang nikmat, khasiatnya juga bagus untuk tubuh. Kedelai biasa diolah menjadi susu, tahu, dan tempe. Tapi di tangan pengelola PT Zehat International, muncul inovasi produk olahan puding kedelai atau yang biasa disebut tofu puding.

Marketing Manager PT Zehat International Agus M. Dien bilang, ide membuat tofu puding muncul karena mereka ingin memberi variasi pilihan kepada konsumen dalam bentuk makanan siap saji. “Makanya kami buat puding, apalagi selama ini belum ada yang membuat puding dari kedelai,” ujarnya.

Zehat memulai usaha ini sejak 2006. Awalnya, perusahaan ini sebatas mengolah kedelai menjadi susu cair. Setelah melakukan beberapa kali inovasi, akhirnya mereka berhasil meracik tofu puding.

Untuk bahan baku, tutur Agus, Zehat mengimpor kedelai dari Kanada. Mereka memilih kedelai Kanada karena biji kedelainya lebih besar dan putih, sehingga menghasilkan puding yang bersih. “Jadi, bukan kami tak mau pakai produk lokal, tapi selama ini kalau kami coba selalu gagal, ada ampas hitam tersisa,” ujar Agus.

Proses produksi puding tofu ini diawali dengan mengolah biji kedelai menjadi bubuk. Lalu, bubuk kedelai dicampur air dari mata air pegunungan di Ciawi. Selanjutnya ditambahkan gula putih dan rasa alami. Ada tiga pilihan rasa, yaitu manis, jahe, dan kopi. Untuk puding beraroma jahe dan kopi, dicampurkan jahe atau kopi yang digiling halus.

Bahan-bahan tersebut kemudian dimasak 30 menit. Setelah didinginkan sesaat, dituang ke dalam wadah dan dikemas dengan label merek Soylicious. Lalu dimasukkan ke ruang pendingin selama 5 menit. Kemudian, puding yang sudah dikemas direndam sesaat di dalam air mentah, lalu dikemas dalam dus. Untuk mempertahankan rasa, dus puding dimasukkan ke gudang pendingin dengan suhu 2 derajat sampai 7 derajat celcius.

Zehat rutin memproduksi puding setiap tiga hari sekali. Produksinya mencapai 40.000 pieces per bulan dengan harga Rp 4.000 per pieces.

Zehat memasarkan tofu puding buatannya ke Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, dan Bali. Produk ini juga sudah dipasarkan di beberapa hipermarket besar seperti Sogo, Giant dan Carrefour.

Menurut Agus, setiap bulan Zehan bisa menjual 90 persen dari total produksi mereka. Omzet nya sekitar Rp 144 juta per bulan dengan marjin Rp 20 juta sampai Rp 30 juta. Karena tanpa tambahan pengawet, tofu pudding ini hanya bisa tahan satu bulan.

Karena masa kadaluarsa yang terbilang singkat inilah, Zehat ragu memasarkan tofu puding ke wilayah Sumatera. “Mungkin dengan membangun pabrik di sana, kerjasama dengan distributor, atau cara lainnya, masih dipertimbangkan,” papar Agus.

Saat ini, Zehat dalam tahap pengenalan dan penanaman imaji produknya sebagai produk olahan kedelai yang berkualitas dan tanpa bahan pengawet. “Untuk menjaga imaji, kami tidak bisa memperpanjang masa kadaluarsa dengan memakai bahan pengawet,” ujar Agus. Zehat berencana menghadirkan tofu puding rasa baru untuk menambah pilihan bagi para konsumen.

Agus optimistis, prospek bisnis tofu puding masih sangat cerah. Sebab, Agus mengklaim, hingga saat ini pemainnya baru Zehat saja. Selain itu, “Beberapa bulan terakhir, kami juga telah menerima pesanan dari sejumlah restoran,” ujarnya

Ngestiwati, dengan Torakur Tunjang Ekonomi Tetangga

KOMPAS.com - Pertengahan tahun 2002 menjadi titik balik bagi Sri Ngestiwati (47). Didorong anjloknya harga tomat, ia lalu memproduksi manisan tomat yang menyerupai kurma berlabel Torakur. Usaha itu maju pesat dan hasilnya tak hanya mampu menunjang ekonomi keluarga Ngestiwati, tetapi juga para tetangganya. Bahkan, produknya itu belakangan ini telah menjadi buah tangan khas kawasan wisata Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Tak heran kalau Sri Ngestiwati kemudian harus memenuhi permintaan kiriman Torakur untuk Bali, Jakarta, Jawa Timur, serta sejumlah kabupaten dan kota di Jawa Tengah.

Konsekuensinya, setiap hari dia mengolah sekitar 250 kilogram tomat mentah untuk diolah menjadi 50 kilogram Torakur. Namun, saat bulan Ramadhan, kebutuhan bahan bakunya naik sampai 300 kilogram tomat mentah.

Sekilas agak sukar membedakan Torakur dengan kurma. Bentuknya sama-sama oval dengan warna pekat. Bedanya, warna kurma lebih hitam pekat, sedangkan Torakur kemerah-merahan. Penganan ini empuk tanpa biji, manis, serta menyisakan aroma dan rasa khas tomat.

Torakur yang dikemas dalam kotak seberat 250 gram seharga Rp 9.000 dan kemasan 500 gram seharga Rp 17.000. Ngestiwati mengaku belum menghadapi kendala berarti dalam pemasaran karena pasar masih menampung berapa pun produk yang didistribusikannya.

Maka tak heran kalau omzet usahanya bisa mencapai puluhan juta rupiah. Dan, lapangan pekerjaan terbuka bagi puluhan orang di sekitar rumahnya di Desa Kenteng, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang.

”Pemasarannya bagus sekali. Malah lebih cepat daripada proses pembuatannya. Hasilnya juga menjanjikan. Dari tomat-kurma ini saya bisa membiayai kuliah dua anak saya, memenuhi kebutuhan keluarga, juga membeli tanah,” tuturnya.

Pelatihan

Ngestiwati memulai usaha ini setelah mendapat pelatihan dari sejumlah mahasiswa Universitas Negeri Semarang yang sedang kuliah kerja nyata pada awal 2002. Ngestiwati bersama puluhan warga dilatih mengolah tanaman pangan, salah satunya membuat manisan tomat.

”Saya pertama kali tahu tentang manisan tomat dari pelatihan itu, enggak tahu apa dikembangkan juga di daerah lain,” tuturnya saat ditanya usaha serupa yang pernah dirintis di Kabupaten Purbalingga pada 1998.

Dia mulai membuat manisan tomat pertengahan 2002 saat harga tomat hasil panen suaminya dari lahan seluas 2.500 meter persegi anjlok. Tomat hanya dihargai Rp 200 per kilogram, jauh dari titik impas yang Rp 1.000 per kg.

Ia lalu mengolah tomat itu menjadi manisan. Sepuluh kali mencoba, 10 kali pula gagal. Belum berhasil menemukan formula yang tepat untuk warna, rasa, dan bentuk Torakur.

Torakur awalnya dijajakan kepada rekan sekantornya di Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan di Kecamatan Sumowono. Ternyata banyak yang menyukainya. Sekitar tiga bulan uji coba, Ngestiwati menemukan komposisi yang pas. Ia serius mengerjakan usaha ini, dan mengajukan surat izin kepada Departemen Kesehatan.

”Modal awal waktu itu hanya gula 2 kg karena 10 kg tomatnya saya petik di kebun,” kenangnya.

Proses membuat Torakur diawali dari penyortiran tomat. Puluhan pekerja memilah tomat berwarna merah pekat untuk diolah.

Adapun yang lain disimpan beberapa hari hingga benar-benar matang. Setelah ditusuk-tusuk, tomat itu direndam sekitar empat jam dalam air kapur sirih.

Biji tomat dibuang, sedangkan bagian dalam tomat disisihkan untuk bahan baku olahan jenang tomat. Daging tomat direbus bersama gula.

Komposisinya, lima bagian tomat dan satu bagian gula untuk menghasilkan 1 kilogram Torakur. Tomat lalu dijemur dan dibentuk.

Penjemuran itu menjadi salah satu keunggulan Ngestiwati. Dia menyediakan lahan khusus seluas 6 x 6 meter untuk membuat unit-unit penjemuran tertutup atap kaca. Di sekelilingnya dipasang jaring antinyamuk. Agar higienis, pada kemasannya pun diberi dua lapisan plastik di dalam dan luar kardus.

Berdayakan perempuan

Menurut Ngestiwati, yang membuat dia bangga pada usaha ini adalah terbukanya lapangan kerja bagi para tetangganya. ”Terutama bagi kaum perempuan yang belum mendapat pekerjaan.”

Mereka menjadi pekerja yang membantu Ngestiwati dari pagi hingga sore dengan upah antara Rp 300.000-Rp 350.000 per bulan, di luar lembur Rp 3.000 per jam dan uang makan sebesar Rp 3.000 per hari.

Biasanya ia memberi tugas puluhan pekerja itu pada pagi hari menjelang berangkat ke kantor sehingga usaha ini tak mengganggu pekerjaannya sebagai PNS.

”Memang yang kami berikan belum mencapai upah minimum kabupaten, tapi setidaknya bisa membantu ekonomi keluarga mereka yang rata-rata petani. Mereka juga tak perlu keluar ongkos transpor,” tuturnya.

Ngestiwati mengaku, kendala yang dihadapinya adalah melonjaknya harga gula pasir dari Rp 285.000 per sak (50 kg) menjadi sekitar Rp 440.000. Padahal, saat ini memasuki masa musim giling tebu. Dia mengatasinya dengan menaikkan harga Rp 500 per kemasan.

Semua kendala bisa teratasi. Apalagi, Ngestiwati mendapat dukungan sang suami, Adiarso, yang juga menjadi PNS di Kabupaten Semarang. Usaha tomat rasa kurma pun berkembang