Saturday, December 27, 2008

Jangan Tergoda Janji Manis Franchisor

Banyak franchisor yang memberikan iming-iming calon franchisee mencapai break event point (BEP) dalam tempo singkat. Informasi ini perlu diuji sebelum memutuskan bergabung.

Tidak dimungkiri bahwa membangun bisnis melalui waralaba jauh lebih aman dibandingkan dengan membangun bisnis sendiri. Sebab, franchisee tidak perlu menjalani proses repot bin ribet mengingat sistemnya sudah terbentuk. Bahkan, dijamin 90% produk yang dijual akan laku dan ketika menghadapi kendala tinggal mengadu kepada franchisor. Franchise, bagi franchisor, juga merupakan win-win solution. Karena, franchisor tidak perlu menanamkan modal lagi untuk mengembangkan bisnisnya, serta dapat membangunnya lebih cepat dan dengan risiko lebih kecil.

Adalah Bakmi Raos. Bisnis yang dibangun oleh Bimada pada 2003 di kawasan Bintaro, Tangerang, ini dimulai dari sebuah gerobak dan hanya menyajikan mie ayam. Medio 2006, ia menawarkan kemitraan. “Gara-gara BBM (Bahan Bakar Minyak) naik, harga beli bahan baku menjadi mahal. Saya pun berpikir mengapa tidak dimitrakan saja. Ternyata, tanggapannya luar biasa,” kata Bimada. Kemitraan tersebut bersifat beli putus. Karena, ia tidak mau menanggung apakah nantinya mitra akan meraup untung atau justru mengalami kerugian.

Kemitraan seharga Rp15 juta ini, dalam perjalanannya mengalami kesulitan menaikkan harga. Sebab, sekali gerobak tetaplah gerobak, tidak ada eye catching-nya. Di samping itu, mitra tidak mau lagi mengeluarkan biaya untuk berpromosi atau sekadar papan nama dan tidak pernah menjaga nama baik Baik Raos. Misalnya, dengan mengoplos minyak bawang atau membeli mie di pasar di mana seharusnya kedua bahan baku itu dibeli dari franchisor. Selain itu, biasanya mitra tidak mengelola langsung bisnisnya.

Pada 2007, ketika kesulitan semakin bertambah, terpikir oleh Bimada untuk masuk ke bisnis restoran. Lalu, pada November, Bakmi Raos pun masuk ke kancah mini resto. “Pertimbangannya, mini resto masih merupakan pasar yang belum dijamah oleh konsep kemitraan,” ujar pria yang berasal dari Surabaya, Jawa Timur, ini. Selanjutnya, 193 gerobak yang kini tinggal 50–70 gerobak, diganti namanya menjadi Bakmi Resto, dengan kompensasi free 1.000 porsi mie plus papan nama Bakmi Resto. Sekadar informasi, kendati telah berubah nama menjadi Bakmi Resto, tetapi hubungan bisnis tetap terjalin. Sebab, pembelian bahan baku harus tetap melalui Bakmi Raos.

Mini resto ini terbagi menjadi beberapa tipe mitra fee yaitu mitra fee Rp20 juta, hanya menjual mie ayam. Sedangkan untuk mitra fee Rp25 juta, menu ditambahi bakwan Malang dan mpek-mpek. Untuk kedua tipe ini, outlet cukup seluas satu ruko (rumah toko). Untuk mitra fee Rp45 juta ditambahkan menu Chinese Food dan seafood. Untuk mitra fee Rp75 juta, menu ditambahi steak. Untuk kedua tipe ini, karena sudah harus berbentuk resto atau kafe di mana terdapat dapur dan koki, maka luas outlet minimal sama dengan dua ruko. Untuk mitra fee Rp150 juta sudah berbentuk resto sepenuhnya sebab sudah disediakan manajer, SOP (Standard Operating Procedure), dapur, desain, dan fasilitas-fasiltas lain. Untuk itu, luas outlet minimal 300 m². “Kami sudah punya 3–4 mitra untuk tipe ini,” katanya.

Untuk itu, pemilik resto Cippes ini melanjutkan, mitra tipe Rp20 juta dan Rp25 juta harus membukukan omset kotor minimal Rp15 juta/bulan. Untuk tipe Rp45 juta, mitra harus mengumpulkan omset kotor minimal Rp1,5 juta/hari. Sedangkan untuk tipe Rp75 juta, harus meraup omset kotor minimal Rp2,5 juta/hari dan untuk tipe Rp150 juta sebesar Rp100 juta/bulan. Masing-masing dengan royalty fee 5%.

“Angka-angka ini kami tetapkan karena kami yakin mitra pasti meraih keuntungan. Misalnya, dengan omset Rp15 juta saja, mitra telah meraup laba bersih Rp5 juta. Tapi, bila yang bersangkutan tidak mampu meraup omset tersebut, dengan sendirinya tidak ada royalty fee. Di samping itu, 2,5% dari royalty yang kami terima, kami tabung untuk keperluan mitra. Misalnya, jika pemasukan mitra mengalami drop, maka royalty tersebut kami kembalikan dalam bentuk promosi dan supply bahan baku. Sedangkan 2,5% lagi kami ambil sebagai hak kami,” ucapnya.

Kemitraan yang berlaku selama lima tahun ini juga boleh dipindahtangankan. “Tapi, bila dalam jangka waktu enam bulan, kami melihat bahwa bisnis mitra tidak berjalan seperti seharusnya, maka kami akan take over sendiri dengan bagi hasil 70 untuk mitra dan 30 untuk kami,” jelasnya. Di sisi lain, franchisor tidak akan memberi jaminan kapan akan mengalami BEP (Break Even Point) atau ROI (Return of Investment) kecuali mitra memintanya. “Itu pun kami berikan dalam bentuk asumsi. Saya justru lebih fokus membantu dalam promosi dan ketersediaan bahan baku yang dijamin 100%, dengan harga Rp17 ribu/10 porsi,” imbuhnya.

Memasuki tahun 2008, tercetus ide di benak Bimada untuk masuk ke bisnis yang lebih detil lagi yaitu menawarkan franchise, sekitar tiga hingga empat bulan ke depan. Tapi, ia akan mengelola sendiri franchise-franchise-nya, seolah-olah itu bisnisnya sendiri. Sedangkan franchisee cukup duduk manis di ruang kasir. “Karena, saya sudah mulai bermain di pasar yang mahal (rencananya, franchise fee yang ditawarkan mencapai Rp250 juta–Rp300 juta dengan royalty fee 2,5%–3%, red.). Jadi, kalau selanjutnya saya biarkan saja, tentu franchisee komplain,” katanya.

Untuk mempersiapkan rencananya tersebut, ia memulai dengan mengembangkan nama Bakmi Raos (branding), membangun berbagai training center, menempatkan manajer di mitra-mitranya, dan sebagainya. “Meski masih berwujud wacana, konsep ini sudah ditolak lho. Untuk mengatasi hal ini, nanti kalau saya sudah action, yang akan saya bicarakan adalah branding. Sebab, jika berbicara tentang branding, masyarakat tidak memiliki pilihan lain kecuali mau bergabung,” ujarnya, yakin. Sekadar informasi, cara cepat menjual produk yaitu dengan branding, sedangkan cara cepat untuk membangun branding yaitu dengan franchise. Setelah difranchisekan, suatu produk akan memiliki bargaining power yang tinggi. Bagaimana menurut Anda?

Franchise yang Baik ala Bimada

- Dipegang langsung oleh master franchise atau franchisor-nya.
- Ada SOP-nya.
- Ada perangkat survainya.
- Ada management training-nya.
- Tidak mengiming-imingi BEP dan ROI.
- Franchisor bertanggung jawab atas kelangsungan bisnis yang dikelola franchisee.

No comments:

Post a Comment