Thursday, April 30, 2009

Menghitung Untung Gurihnya Bisnis Bubur’Qu

Dari Pasuruan, dalam tempo singkat, gerai Bubur’Qu telah menyerbar ke berbagai kota. Gurihnya keuntungan yang ditawarkan, menjadi daya tarik tersendiri, selain kemudahan pengelolaan bisnisnya.

Bagi MS Mardiko, menjalankan bisnis agaknya pilihan hidup. Demi menggeluti bisnis, lelaki kelahiran Gresik ini, rela meninggalkan statusnya sebagai salah satu manajer di sebuah perusahaan asing yang cukup bonafid di Pasuruan, Jatim. “Saya pengin mencoba menggunakan otak kanan saya dengan menjadi entrepreneur,” katanya.

Pilihan Koko, demikian lelaki itu akrab dipanggil tidaklah meleset. Walau pada awalnya sempat was-was, keberaniannya mengambil keputusan menanggalkan status karyawan, bukanlah keputusan yang salah. Nyatanya, kini ia telah naik status menjadi juragan bubur yang terbilang sukses.

Juragan bubur? Ya julukan ini, rasanya begitu pas untuknya. Saat ini, ia memang meraih kesuksesan dari bisnis bubur dengan bendera Bubur’Qu. Sebagai catatan, Koko merupakan pelopor bisnis bubur yang dikembangkan dengan sistem waralaba di negeri ini. Dan dengan bubur ini pulalah, ia telah menghidupi banyak karyawan yang bergabung di jaringan bisnisnya. Dan yang pasti, kini kian banyak orang memperoleh keuntungan dari bisnis ini.

Di tangan Koko, bubur ternyata menjadi ajang bisnis yang menggiurkan. Bapak dua anak ini, telah menikmati gurihnya penghasilan dari makanan berbahan baku beras ini. Kehidupan Koko juga mengalami perubahan drastis. Setidaknya, ia telah terbebas dari kungkungan rutinitas kerja kantoran seperti yang telah bertahun-tahun dijalaninya.

Koko kini boleh merasa bangga, setelah sukses meningkatkan gengsi bubur. Makanan ini, ternyata bisa menjadi menu utama yang layak jual. Koko secara khusus hanya menjual aneka macam bubur. Ada empat varian rasa yang disajikan Bubur’Qu, masing-masing Bubur Jakarta, Bubur Manado, Bubur Sukabumi dan Champion.

Sejak awal, Koko memang berniat mengembangkan gerainya dengan model franchise. Semangat mengelola bisnis dengan sistem franchise, berkobar-kobar di dalam dadanya setelah ia mengikuti program di Entrepreneur University(EU) besutan Purdi E Chandra. “EU memang banyak mengubah mental saya dalam menjalankan bisnis,” katanya.

Dengan sistem franchise tersebut, gerai Bubur’Qu kini bisa ditemukan di berbagai kota di Indonesia. Perkembangan gerai Bubur’Qu, bisa dibilang cepat. Sejak kehadirannya akhir tahun 2006, kini gerainya telah mencapai di atas angka 30 cabang. “Dalam waktu dekat kami akan segera membuka di Jakarta dan Jawa Barat,” ungkapnya.

Koko yang kini bermukin di Pasuruan, Jatim ini menyatakan, banyak pemilik modal yang ingin menjalankan bisnis Bubur’Qu, lebih karena minimnya investasi dan kemudahan menjalankan bisnisnya. Untuk memiliki bisnis gurih ini cukup dengan investasi Rp 20 juta.

Dengan paket dana itu, mitra franchise akan mendapat seperangkat peralatan produksi lengkap, mulai dari gerobak, kompor hingga peralatan saji. Selain itu, sudah termasuk jasa franchise fee selama lima tahun. “Jadi selama lima tahun, mereka tidak usah memikirkan royalti kepada kami,” kata Koko.

Selain menerima paket peralatan produksi, pihak franchisor juga akan memberikan paket promosi, support marketing dan pendampingan lainnya. Jadi, pemilik modal yang akan menjalankan usaha akan didampingi sampai bisnis berjalan sesuai yang diharapkan.

Saat ini, Bubur’Qu memang sudah menyebar ke berbagai kota. Bukan hanya di Jawa, tapi sudah menerobos ke beberapa kota di luar Jawa. Selama ini, manajemen menerapkan strategi memasok semua bahan baku ke mitranya. Dengan strategi ini dipastikan rasanya sudah memenuhi standar tertentu.

Menurut Koko, Bubur’Qu mempunyai standart operation procedure yang bisa dikembangkan sesuai daerah setempat. Selain racikan standar bumbu yang langsung diberikan oleh Bubur’Qu sendiri, juga akan disertai dengan pelatihan prosedur lain seperti handling customer, delivery system dan produk.

Bila dikelola dengan baik, berdasarkan perhitungan yang matang, tingkat pengembalian modal Bubur’Qu terbilang cepat. Berdasarkan pengalaman yang sudah terjadi, tingkat ROI (Return of investment) hanya pada hitungan bulan, tidak sampai tahunan. Saat ini, rata-rata pada angka 6-8 bulan. Ini sungguh tawaran yang menggiurkan. “Perhitungan ini, sudah termasuk semua biaya operasional,” tandasnya.

Bisnis makanan adalah bisnis kepercayaan. Untuk menjaga hal ini, Bubur’Qu senantiasa menjaga cita rasa seperti yang diharapkan konsumen. Karena itulah, Koko memiliki tim khusus untuk tetap menjaga kualitas layanan. Tim ini, akan melakukan pemantauan terhadap semua outlet yang ada.” Kami berusaha semaksimal mungkin, agar standar kami tetap terjaga,” jelasnya.

Saat ini, gerai Bubur’Qu beragam bentuknya. Ada yang dikelola dengan model tenda tapi juga ada yang dibuka dengan model resto yang bertempat di ruko maupun mall. Semua itu tergantung minat franchisee. “Dibuka dengan tenda maupun di ruko oke-oke saja,” papar Koko lebih lanjut.

Selama ini, Bubur’Qu sengaja menyasar kalangan menengah. Dengan harga kisaran rata-rata Rp 5-6 ribu, pasti akan terjangkau oleh mereka yang memang memiliki kegemaran makan bubur. Harga ini tentu relatif masih murah meriah. Apalagi untuk ukuran kota besar seperti Surabaya, Jakarta atau Denpasar.

Menguji Mental
Dalam diri Koko, memang telah lama mengalir darah entrepreneur. Tak mengherankan bila dia rela melepaskan statusnya sebagai seorang manajer. Ketika masih kuliah di ITS, bersama rekan-rekannya ia sempat mendirikan lembaga bimbingan belajar. Ia memang memiliki obsesi untuk menyaingi Primagama.

Untuk mendirikan bimbel tersebut, ia meminjam modal dari orangtuanya. Walau sempat berkembang, bimbel tersebut akhirnya harus berhenti di tengah jalan. Hal ini, terjadi karena beberapa kawan harus mundur tanpa pamit karena meneruskan profesi lain. “Bimbel sebenarnya bagus, tapi karena kawan-kawan tidak serius ya akhirnya layu sebelum berkembang,” ujar Koko bergurau.

Yang menarik, ketika pertama kali membuka gerai bubur, Koko langsung membuka dua gerai. Yang pertama ia sengaja memilih lokasi di kawasan Industri PIER Pasuruan. Ia sengaja menyasar konsumen, para karyawan pabrik di mana dia pernah bekerja dulu. Hal ini sengaja dia lakukan untuk menguji mentalitasnya. “Ternyata saya tidak merasa malu, dari seorang manajer pindah pekerjaan sebagai penjual bubur,” kata pria kelahiran Gresik tigapuluh lima tahun silam ini.

Di luar dugaan, ternyata bubur Koko menarik perhatian orang. Awalnya yang banyak membeli memang kawan-kawan di bekas perusahaannya dulu. Tapi seiring dengan perjalanan waktu, kian banyak konsumen dari perusahaan lain di kawasan industri tersebut. “Saya menangani langsung, dari proses produksi sampai menjual,” katanya.

Manis larisnya, gerai bubur yang dikelola Koko, diam-diam ternyata menarik perhatian orang untuk menjalankan bisnis yang sama. Ada yang minta ijin untuk ikut membuka gerai Bubur’Qu. Dari sinilah, Koko mulai mengembangkan sayapnya. Dalam tempo enam bulan, ia telah memiliki enam gerai di beberapa kota di sekitar Jawa Timur.

Setelah mengikuti beberapa kali pameran, bisnis Bubur’Qu terus berkembang. Makin banyak orang yang berminat untuk ikut membuka gerai. Rendahnya investasi dan gampangnya mengelola bisnis ini agaknya menjadi daya tarik tersendiri. Selain itu, yang tak kalah menjadi daya tarik tentu saja tingkat percepatan waktu balik modalnya.

Koko mengaku untuk menemukan resep bubur, ia harus keliling Jawa. Dari sinilah, ia menemukan resep-resep orsinil dari berbagai daerah. “Saya mendapatkan resep dari pemiliknya langsung,” ungkapnya.

1 comment: